Jumat, 31 Oktober 2014

Hukum Foto PraWedding

Belum nikah, berarti seorang wanita belum halal bagi laki-laki. Bukan hanya tidak boleh namun tidak halal memperlihatkan hubungan intim juga segala hal yang menuju zina pun diharamkan. Termasuk yang menyebar luas di kalangan kaum muslimin saat ini adalah foto pre wedding. Foto seperti ini tidak dibolehkan karena status pasangan tersebut belum sah. Sehingga bersentuhan, berdua-duaan, saling berhias diri satu sama lain masih haram.
Segala Perantara Menuju Zina Diharamkan
Allah Ta’ala dalam beberapa ayat telah menerangkan bahaya zina dan menganggapnya sebagai perbuatan amat buruk. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32). Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya untuk berbuat zina dan mendekatinya. Begitu pula tidak boleh menerjang hal-hal yang mendekati dan mendorong untuk berbuat zina. Demikian kata Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Jadi, dalil di atas secara umum menunjukkan terlarangnya zina dan hal-hal yang mendekati zina, termasuk di sini adalah berdua-duaan saat foto pre-wedding.
Beberapa Kesalahan dalam Foto Pre Wedding
1- Ikhtilat dan Kholwat
Walau memakai jilbab saat foto pre wedding, tetap saja tidak boleh. Karena Islam melarang berdua-duaan antara pasangan yang belum halal, disebut kholwat. Islam juga melarangikhtilat, yaitu campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” (HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ

Ketahuilah! Seorang laki-laki bukan muhrim tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah, atau ada muhrimnya.” (HR. Muslim no. 2171)
2- Membuka aurat
Ada juga yang sampai membuka aurat yang haram untuk dilihat. Seperti ini pun tidak dibolehkan bahkan termasuk dosa besar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Dalam hadits di atas disebutkan beberapa sifat wanita yang diancam tidak mencium bau surga di mana disebutkan,

وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ

Yaitu para wanita yang: (1) berpakaian tetapi telanjang, (2) maa-ilaat wa mumiilaat, (3) kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Yang dimaksud berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang menutup sebagian tubuhnya dan menyingkap sebagian lainnya, artinya sengaja membuka sebagian aurat. Adapunmaa-ilaat adalah berjalan sambil memakai wangi-wangian dan mumilaat yaitu berjalan sambil menggoyangkan kedua pundaknya atau bahunya. Sedangkan wanita yang kepalanya seperti punuk unta yang miring adalah wanita yang sengaja memperbesar kepalanya dengan mengumpulkan rambut di atas kepalanya seakan-akan memakai serban (sorban).
Nah, sifat-sifat di atas yang kita temukan juga pada foto pre-wedding ketika banyak wanita yang berpose dengan pamer aurat tanpa ada rasa malu.
3- Bersentuhan dengan lawan jenis yang haram
Ada juga yang dalam foto saling bersentuhan padahal belum halal. Dalam hadits terdapat ancaman keras,

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
4- Tabarruj yang tidak dibolehkan
So pasti … wanita berpose manis saat itu. Padahal berpenampilan tabarrujseperti ini diharamkan. Apa itutabarruj? Di antara maksudnya adalah berdandan menor dan berhias diri. Itulah yang kita lihat pada foto pre wedding.
Allah memerintahkan pada para wanita,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Maqotil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri adalah seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak menutupinya dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan lehernya. Inilah yang disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah. Silakan kaji dari kitab Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhimkarya Ibnu Katsir, 6: 183 (terbitan Dar Ibnul Jauzi).
Jika seorang wanita memakai make-up, bedak tebal, eye shadow, lipstick, maka itu sama saja ia menampakkan perhiasan diri. Inilah yang terlarang dalam ayat,

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31).
5- Jika sampai ada adegan “kiss” (ciuman)
Jika sampai ada adegan kissing -padahal belum halal sebagai suami istri-, maka ini jelas lebih parah lagi.
Ada hadits yang menyebutkan,

أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِى هَذَا قَالَ « لِجَمِيعِ أُمَّتِى كُلِّهِمْ »

Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman AllahTa’ala (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.” (QS. Hud: 114). Laki-laki tersebut lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti itu hanya khusus untuk aku?” Beliau bersabda, “Untuk seluruh umatku.” (HR. Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763). Hadits ini menunjukkan berciuman bagi pasangan yang belum halal adalah satu hal yang diharamkan dan dihukumi dosa karena sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits ini menyesal dan ingin bertaubat.
Hukum Foto Pre Wedding
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa foto pre wedding adalah haram. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA. mengatakan bahwa foto pre wedding yang dimaksud adalah foto mesra calon suami dan calon istri yang dilakukan sebelum akad nikah. Foto pre-wedding diharamkan karena saat berfoto itu mereka belum memiliki ikatan apa-apa. Itu tidak dibenarkan dalam hukum Islam.
Ringkasnya, foto pre wedding diharamkan karena dengan 2 pertimbangan, yang pertama yaitu bagi pasangan mempelai dan fotografer yang melakukannya. Untuk mempelai diharamkan karena dalam pembuatan foto dilakukan dengan dibarengi adanya ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), kholwat (berduaan) dan kasyful aurat (membuka aurat). Sementara pekerjaan fotografer pre wedding juga diharamkan karena dianggap menunjukkan sikap rela dengan kemaksiatan.
Wallahu waliyyut taufiq, hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Keutamaan Menikahi Janda

Adakah keutamaan menikahi janda? Ataukah lebihbaik dengan gadis saja?

Keutaman Menolong Para Janda

Dari Abu Hurairah, berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
السَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَكَالَّذِي يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ
Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.”(HR. Bukhari no. 5353 dan Muslim no. 2982)
Termasuk dalam menolong para janda adalah dengan menikahi mereka. Namun janda manakah yang dimaksud?
Disebutkan dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim (18: 93-94), ada ulama yang mengatakan bahwa “armalah” yang disebut dalam hadits adalah wanita yang tidak memiliki suami, baik ia sudah menikah ataukah belum. Ada ulama pula yang menyatakan bahwa armalah adalah wanita yang diceraikan oleh suaminya.
Ada pendapat lain dari Ibnu Qutaibah bahwa disebut armalah karena kemiskinan, yaitu tidak ada lagi bekal nafkah yang ia miliki karena ketiadaan suami. Armalah bisa disebut untuk seseorang yang bekalnya tidak ada lagi. Demikian nukilan dari Imam Nawawi.
Pendapat terakhir itulah yang penulis cendrungi.
Dari pendapat terakhir tersebut, janda yang punya keutamaan untuk disantuni adalah janda yang ditinggal mati suami atau janda yang diceraikan dan sulit untuk menanggung nafkah untuk keluarga. Adapun janda kaya, tidak termasuk di dalamnya.

Keutamaan Menikahi Janda yang Ditinggal Mati Suami dan Memiliki Anak Yatim

Kita tahu bersama bahwa anak yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya. Anak seperti inilah yang dikatakan yatim dan punya keutamaan untuk ditolong karena penanggung nafkahnya -yaitu ayahnya- sudah tiada. Jika ada yang menikahi janda karena ingin menolong anaknya, maka ia akan dapat keutamaan besar menyantuni anak yatim.
Dari Sahl ibnu Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هَكَذَا » . وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى ، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.”   [Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya, namun beliau regangkan antara keduanya]. (HR. Bukhari no. 5304).

Menikahi Janda ataukah Perawan?

Walau memang menikahi perawan ada keutamaannya. Namun menikahi janda tidak boleh dipandang sebelah mata. Bahkan ada pria yang membutuhkan janda dibanding gadis perawan. Semisal seorang pria ingin mencari wanita yang lebih dewasa darinya sehingga bisa mengurus adik-adiknya. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia pernah berkata,
تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَقِيتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « يَا جَابِرُ تَزَوَّجْتَ ». قُلْتُ نَعَمْ. قَالَ « بِكْرٌ أَمْ ثَيِّبٌ ». قُلْتُ ثَيِّبٌ. قَالَ « فَهَلاَّ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى أَخَوَاتٍ فَخَشِيتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِى وَبَيْنَهُنَّ. قَالَ « فَذَاكَ إِذًا. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ »
Aku pernah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bertanya, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?” Ia menjawab, “Iya sudah.” “Yang kau nikahi gadis ataukah janda?”, tanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun menjawab, “Janda.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja, bukankah engkau bisa bersenang-senang dengannya?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki beberapa saudara perempuan. Aku khawatir jika menikahi perawan malah nanti ia sibuk bermain dengan saudara-saudara perempuanku. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu berarti alasanmu. Ingatlah, wanita itu dinikahi karena seseorang memandang agama, harta, dan kecantikannya. Pilihlah yang baik agamanya, engkau pasti menuai keberuntungan.” (HR. Muslim no. 715)
Namun dengan catatan di sini tetap memandang janda yang punya agama yang baik, bukan sembarang janda.
Semoga bermanfaat. Aamiin.

Menikah Berlainan Agama

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Terutama yang nanti akan kami tinjau adalah pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non muslim. Karena ini sebenarnya yang jadi masalah besar. Semoga bahasan singkat ini bermanfaat.
Pernikahan Wanita Muslimah dan Pria Non Muslim
Tentang status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al Mumtahanah: 10)
Pendalilan dari ayat ini dapat kita lihat pada dua bagian. Bagian pertama pada ayat,
فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
Janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada suami mereka yang kafir
Bagian kedua pada ayat,
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu
Dari dua sisi ini, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslim menikah dengan pria non muslim (agama apa pun itu).[1]
Ayat ini sungguh meruntuhkan argumen orang-orang liberal yang menghalalkan pernikahan semacam itu. Firman Allah tentu saja kita mesti junjung tinggi daripada mengikuti pemahaman mereka (kaum liberal) yang dangkal dan jauh dari pemahaman Islam yang benar.
Penjelasan Ulama Islam Tentang Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
Para ulama telah menjelaskan tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan pria non muslim berdasarkan pemahaman ayat di atas (surat Al Mumtahanah ayat 10), bahkan hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت الامة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام.
“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.”[2]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
هذه الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”.[3]
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan,
وفيه دليل على أن المؤمنة لا تحلّ لكافر ، وأن إسلام المرأة يوجب فرقتها من زوجها لا مجرّد هجرتها
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (non muslim). Keislaman wanita tersebut mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah tempat (hijrah)”.[4]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,
وكما أن المسلمة لا تحل للكافر، فكذلك الكافرة لا تحل للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها، غير أهل الكتاب،
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria muslim).”[5]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang kafir (non muslim) tidaklah halal menikahi wanita muslimah. Hal ini berdasarkan nash (dalil tegas) dan ijma’ (kesepakatan ulama). Allah Ta’alaberfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” Wanita muslimah sama sekali tidak halal bagi orang kafir (non muslim) sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun kafirnya adalah kafir tulen (bukan orang yang murtad dari Islam). Oleh karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, maka nikahnya batil (tidak sah).[6]
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salimhafizhohullah dalam Kitab Adhwaul Bayan (yang di mana beliau menyempurnakan tulisan gurunya , Syaikh Asy Syinqithi), memberi alasan kenapa wanita muslimah tidak dibolehkan menikahi pria non muslim, namun dibolehkan jika pria muslim menikahi wanita ahli kitab. Di antara alasan yang beliau kemukakan: Islam itu tinggi dan tidak mungkin ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu saja dipimpin oleh laki-laki. Sehingga suami pun bisa memberi pengaruh agama kepada si istri. Begitu pula anak-anak kelak harus mengikuti ayahnya dalam hal agama.[7] Dengan alasan inilah wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.
Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5). Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh dinikahi oleh laki-laki muslim berdasarkan ayat ini.”[8]
Yang dimaksud di sini, seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahli kitab, namun bukan wajib dan bukan sunnah, cuma dibolehkan saja. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah. Wanita ahli kitab di sini yang dimaksud adalah wanita Yahudi dan Nashrani. Agama Yahudi dan Nashrani dari dahulu dan sekarang dimaksudkan untuk golongan yang sama dan sama sejak dahulu (di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu wahyu mereka telah menyimpang. Silakan baca artikel “Siapakah Ahlul Kitab?”.
Catatan penting di sini, jika memang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab, maka pernikahan tentu saja bukan di gereja. Dan juga ketika memiliki anak, anak bukanlah diberi kebebasan memilih agama. Anak harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam. Lihat keterangan dari Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim di atas.
Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut wanita musyrik, haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan kesepakatan para fuqoha. Dasarnya adalah firman AllahTa’ala,
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)[9]
Menurut para ulama, laki-laki muslim sama sekali tidak boleh menikahi wanita yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani atau Yahudi kecuali jika wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam.[10]
Demikian sajian singkat dari kami. Semoga sajian ini semakin memberikan pencerahan kepada kalangan awam dan kaum muslimin secara umum. Semoga kita tidak mencontoh public figure yang tidak memberi teladan yang baik.
Hanya Allah yang beri taufik dan hidayah.
In shaa ALLAH kita semua diberi taufik dan hidayah.
Kebenaran hakiki hanyalah milik ALLAH dan bila ada kesalahan dari tulisan saya diatas itu kesalahan saya sebagai manusia biasa.

Kamis, 30 Oktober 2014

Batasan memotong rambut wanita

Permasalah boleh tidaknya wanita memotong rambutnya, merupakan permasalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menyatakan haram, yang lain menyatkan bahwa tersebut adalah makruh. Yang lainnya lagi menyatakan bahwa hal tersebut adalah diperbolehkan. Sedangkan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang wanita memotong rambutnya, hadis tersebut adalah hadis dhoif. (Dhoif Sunan An-nasa’i karya Al-Bani hal 169)
Diantara ulama yang menyatakan bahwa wanita boleh memotong rambutnya adalah Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin (walaupun beliau menyatakan bahwa hal tersebut tidak disukainya) dan Abdulloh bin Baz. Syeikh Utsaimin menyatakan bahwa “pada asalnya wanita boleh memotong rambutnya. Hanya saja hal tersebut tidak sampai menyerupai potongan rambut laki-laki karena dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah) Jika hal tersebut dilakukan maka hukumnya adalah haram. Demikian juga, jika tujuan memotong rambut adalah untuk mengikuti mode atau trend orang-orang non muslim, maka hal tersebut juga terlarang untuk dilakukan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”(HR Abu Daud) (Majmu’ Fatwa wa rasa’il Ibnu Utsaimin 4/134-135)
Dengan demikian, yang menjadi batasan ketika akan memotong rambut bagi wanita adalah tidak sampai menyerupai potongan rambut laki-laki atau mode rambut wanita-wanita non muslim. Selama hal tersebut tidak dilakukan maka memotong rambut bagi wanita diperbolehkan. Sedangkan pertanyaan saudara mengenai ada atau tidaknya hadis yang menjelaskan batasan rambut wanita yang boleh dipotong, kami belum mendapatkan dalil berkaitan dengan hal tersebut, kecuali dua hadits di atas yang bersifat umum.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Menyetubuhi istri yang sedang haidh haram hukumnya

Seperti kita ketahui bersama bahwa seorang pria haram menyetubuhi istrinya yang sedang haidh. Akan tetapi, beberapa berita meyakinkan akan nikmatnya bersetubuh ketika itu. Namun itu hanyalah suara orang-orang barat yang ingin menggelapkan mata umat Islam dan agar kita tidak lagi mengindahkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Artikel sederhana berikut akan menyingkap beberapa hukum seputar hukum bersetubuh dengan wanita haidh. Moga bermanfaat.
Haramnya Menyetubuhi Wanita Haidh
Para ulama sepakat bahwa menyetubuhi wanita haidh di kemaluannya dihukumi haram.
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًىفَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Dari Anas bin Malik disebutkan bahwa orang Yahudi biasanya ketika istri-istri mereka haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak kumpul-kumpul dengan istrinya di rumah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menanyakan tentang hal itu. Allah Ta’ala lantas menurunkan ayat di atas. Lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
Lakukanlah segala sesuatu selain jima’ (hubungan badan).” (HR. Muslim no. 302)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
أجمع المسلمون علي تحريم وطئ الحائض للآية الكريمة والاحاديث الصحيحة
“Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haidh berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2/359)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَوَطْءُ النُّفَسَاءِ كَوَطْءِ الْحَائِضِ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ
“Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haidh yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624)
Menyetubuhi Wanita Haidh Termasuk Dosa Besar
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Al Muhamili dalam Al Majmu’ berkata bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullahberkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.” Ulama Syafi’iyah dan selainnya berkata bahwa barangsiapa yang menganggap halal menyetubuhi wanita haidh, maka ia dihukumi kafir. Barangsiapa yang melakukannya atas dasar tidak tahu adanya haidh, tidak tahu akan haramnya, lupa, atau dipaksa, maka tidak ada dosa untuknya dan tidak ada kafaroh. (Dinukil dari Al Majmu’, 2/359)
Apakah Ada Kafaroh dalam Hal Ini?
Para ulama berselisih pendapat kafaroh (tebusan) bagi orang yang menyetubuhi istrinya ketika haidh. Ada empat pendapat dalam masalah ini:
Pertama, banyak memohon ampun pada Allah dan tidak ada kafaroh. Inilah pendapat Imam Malik, pendapat terbaru Imam Asy Syafi’i, ulama Zhohiriyah (Ibnu Hazm, cs), dan Abu Hanifah.
Kedua, bersedakah dengan satu dinar atau setengah dinar. Demikian pendapat Imam Ahmad bin Hambal dari dua pendapat beliau yang dinilai lebih kuat.
Ketiga, jika menyetubuhinya ketika masih keluar darah haidh, maka wajib bersedekah dengan satu dinar. Jika menyetubuhinya setelah darah berhenti (namun belum mandi wajib), maka wajib bersedekah dengan setengah dinar. Demikian dikatakan oleh sebagian ulama hadits.
Keempat, bersedekah dengan 5 dinar. Demikian kata Al Auza’i.
Sebab perselisihan di atas karena penilaian keshahihan hadits Ibnu ‘Abbas. Dalam satu riwayat, Ibnu ‘Abbas memerintahkan bersedekah dengan satu dinar. Riwayat lain disebutkan dengan setengah dinar. Dalam hadits lainnya dirinci seperti pendapat ketiga di atas. Dalam hadits lainnya disebutkan kafaroh sebagaimana pendapat Al Auza’i. (Lihat Al Jaami’ Al Mufiid fii Asbaabi Ikhtilafil Fuqoha, Dr. ‘Abdul Karim Hamidi, 1/190-191)
Jumhur (mayoritas) ulama menganggap lemahnya (dhoifnya) hadits-hadits[1] yang membicarakan wajibnya sedekah karena menyetubuhi wanita haidh. Sehingga yang tepat, tidak ada kewajiban kafaroh (sedekah).[2] Kewajibannya adalahbertaubat (taubatan nasuha) dengan penuh penyesalan dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Karena ingat yang dilakukan adalah dosa besar sebagaimana dijelaskan di atas.
Bercumbu dengan Wanita Haidh
Boleh bercumbu dengan wanita haidh selama tidak melakukan jima’ di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haidh) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaihdisebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ،أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami hadidh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”   (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haidh di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haidh atau selain kemaluannya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لَكِنْ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَسَوَاءٌ اسْتَمْتَعَ مِنْهَا بِفَمِهِ أَوْ بِيَدِهِ أَوْ بِرِجْلِهِ فَلَوْ وَطِئَهَا فِي بَطْنِهَا وَاسْتَمْنَى جَازَ . وَلَوْ اسْتَمْتَعَ بِفَخِذَيْهَا فَفِي جَوَازِهِ نِزَاعٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Boleh bagi seorang suami mencumbu wanita haidh atau wanita yang mengalami nifas di atas sarungnya. Ia boleh mencumbunya dengan mulut, tangan atau kakinya. Seandainya ia menyetubuhinya di perutnya, lalu keluarlah mani, maka itu masih dibolehkan. Namun jika ia mencumbu istrinya pada kedua paha istrinya (belum sampai kemaluan, pen), maka tentang bolehnya diperselisihkan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624)
Kapan Mulai Boleh Disetubuhi?
Penyebutan dalam ayat amatlah jelas, “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222). Jadi barulah boleh menyetubuhi wanita haidh ketika darah haidhnya telah berhenti dan telah bersuci.
Ibnu Taimiyah rahimahullahmenjelaskan, “Penyebutan dalam ayat ‘sampai wanita tersebut bersuci’, menunjukkan haramnya …. Haramnya menyetubuhi wanita haidh itu hilang dengan berhentinya darah haidh dan dibolehkan untuk menyetubuhinya dengan syarat wanita tersebut telah mandi.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/625)
Bagaimana jika tidak mampu menggunakan air untuk wanita itu bersuci?
Sebagai ganti dari mandi adalah tayammum jika memang sulit mendapati air atau tidak bisa menggunakan air. Setelah bertayamum, suaminya boleh menyetubuhinya. Ibnu Taimiyahrahimahullah berkata, “Adapun wanita haidh ketika darahnya berhenti, maka suaminya tidak boleh menyetubuhinya sampai ia mandi jika ia mampu mandi. Jika tidak mampu, maka sebagai gantinya adalah tayamum. Demikian pendapat jumhur ulama seperti Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624-625)
Semoga Allah selalu menambahkan pada kita ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
-Alhamdulilahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat-

Hukum menggauli istri selesai haidh yang belum mandi junub

Bagaimana hukum menyetubuhi wanita haidh (menstruasi) setelah darah berhenti sebelum mandi?
Ibnu Qudamah menjelaskan sebagai berikut.
Menurut pendapat kebanyakan ulama, menyetubuhi wanita haidh sebelum dia mandi dihukumi haram walau darahnya sudah berhenti. Ibnul Mundzir berkata bahwa itu seperti ijma’ (kata sepakat) dari mereka. Ahmad bin Muhammad Al Marudzi berkata bahwa dalam masalah ini aku tidak ketahui adanya khilaf (beda pendapat).
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika darah berhenti karena lamanya masa menstruasi, maka boleh disetubuhi. Jika berhentinya bukan karena itu, maka tidak halal untuk bersetubuh hingga ia mandi atau bertayamum atau berlalu baginya waktu shalat. Karena kewajiban mandi tersebut tidaklah sebagai penghalang untuk wanita disetubuhi seperti halnya keadaan junub.
Sedangkan pendapat ulama Hambali -bahwa tetap wajib mandi terlebih dahulu- berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. ” (QS. Al Baqarah: 222). “Apabila mereka telah suci” yang dimaksud adalah apabila mereka telah mandi. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas. Karena dalam ayat, Allah Ta’ala menyebutkan,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222). Ayat tersebut menunjukkan pujian pada orang yang senang bersuci, maksudnya mandi setelah darah berhenti.
Jadinya, ada dua syarat seorang wanita boleh disetubuhi setelah haidh: (1) darah haidh berhenti, (2) mandi. Kedua syarat ini dipenuhi terlebih dahulu barulah bisa disetubuhi. ….
Wanita itu terhalang untuk mengerjakan shalat dikarenakan haidh. Begitu pula tidak boleh menyetubuhinya karena masih ada darah haidh walau jumlahnya sedikit. Alasan lainnya, hadats pada haidh masih lebih berat daripada hadats pada junub sehingga tidak tepat jika saling dianalogikan. (Al Mughni, 1: 419-420).
Semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.
Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 21 Dzulqo’dah 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Tafsiran Surah Al-Ikhlas

Surat ini Makkiyah, terdiri dari 4 ayat. Merupakan surat tauhid dan pensucian nama Allah Taala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar tama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari Kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, hingga pahalanya disamakan dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Makna Mufradat:
Arti
Mufradat
1. Satu Dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.أحد
2. Dapat mencukupi semua kebutuhan sendirian.الصمد
3. Sepadan, sama, dan tandingan.كفؤاً
Syarah:
Inilah prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. Beliau pun menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tauhid dan beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini Allah memerintahkan beliau agar mengatakan, “Katakan, ‘Dialah Allah yang Esa.” Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita ini benar karena didukung oleh kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah yang Esa. Dzat Allah satu dan tiada berbilang. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.
Barangkali pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan, “Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya, bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini. Oleh karena itu Allah berfirman,
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾
“Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”
Artinya tiada sesuatu pun di atas-Nya dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu berlindung kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah dan penuh berkah semua nikmat-Nya.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”
Ini merupakan pensucian Allah dari mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah, terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidakmungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan ketidakmungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Ya. Selama satu Dzat-Nya dan tidak berbilang, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tiada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.
Meskipun ringkas, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nasrani, dan Yahudi. Menggagalkan pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan, juga terhadap Nasrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat ini dinamakan Al-Ikhlas, karena ia mengukuhkan keesaan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tiada yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/11/01/9768/tafsir-surat-al-ikhlash/#ixzz3HdHu5TJQ