Kamis, 30 Oktober 2014

Hukum menggauli istri selesai haidh yang belum mandi junub

Bagaimana hukum menyetubuhi wanita haidh (menstruasi) setelah darah berhenti sebelum mandi?
Ibnu Qudamah menjelaskan sebagai berikut.
Menurut pendapat kebanyakan ulama, menyetubuhi wanita haidh sebelum dia mandi dihukumi haram walau darahnya sudah berhenti. Ibnul Mundzir berkata bahwa itu seperti ijma’ (kata sepakat) dari mereka. Ahmad bin Muhammad Al Marudzi berkata bahwa dalam masalah ini aku tidak ketahui adanya khilaf (beda pendapat).
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika darah berhenti karena lamanya masa menstruasi, maka boleh disetubuhi. Jika berhentinya bukan karena itu, maka tidak halal untuk bersetubuh hingga ia mandi atau bertayamum atau berlalu baginya waktu shalat. Karena kewajiban mandi tersebut tidaklah sebagai penghalang untuk wanita disetubuhi seperti halnya keadaan junub.
Sedangkan pendapat ulama Hambali -bahwa tetap wajib mandi terlebih dahulu- berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. ” (QS. Al Baqarah: 222). “Apabila mereka telah suci” yang dimaksud adalah apabila mereka telah mandi. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas. Karena dalam ayat, Allah Ta’ala menyebutkan,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222). Ayat tersebut menunjukkan pujian pada orang yang senang bersuci, maksudnya mandi setelah darah berhenti.
Jadinya, ada dua syarat seorang wanita boleh disetubuhi setelah haidh: (1) darah haidh berhenti, (2) mandi. Kedua syarat ini dipenuhi terlebih dahulu barulah bisa disetubuhi. ….
Wanita itu terhalang untuk mengerjakan shalat dikarenakan haidh. Begitu pula tidak boleh menyetubuhinya karena masih ada darah haidh walau jumlahnya sedikit. Alasan lainnya, hadats pada haidh masih lebih berat daripada hadats pada junub sehingga tidak tepat jika saling dianalogikan. (Al Mughni, 1: 419-420).
Semoga bermanfaat, wallahu waliyyut taufiq.
Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 21 Dzulqo’dah 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar